Bicara soal Kapuas Post seperti tak ada habisnya. Persoalan demi persoalan tak pernah kunjung selesai. Sebuah media massa berbasis cetak yang beredar di wilayah timur Kalbar ini berdiri jatuh bangun dari jari-jari lemah manusia di papan keyboard.
Saya menjadi anggota "jari-jari lemah" ini 1 bulan setelah berdirinya Kapuas Post. Sebagai anak perusahaan terbesar di Wilayah Pontianak, kami berdiri dari merangkak. Dari wartawan sampai pracetak dipilih dengan hati-hati. Waktu itu aku dipimpin oleh seorang Koordinator Pracetak yang cukup otoriter dan keras. Memang agak susah diriku untuk menerima sifat seperti itu apalagi aku baru dalam dunia kerja. Tapi aku bersyukur karena aku memulai dari dasar sekali yaitu me-mounting koran.
Dalam sebulan kucoba dengan keras menguasai Pagemaker dan Photoshop, sehingga akhirnya aku mampu melayout sebuah halaman koran dengan baik.
Beberapa bulan kemudian masalah pertama kami timbul, koordinator kami mengundurkan diri dari Kapuas Post. Pada waktu itu tersiar kabar burung bahwa Mas Iwan (Koordinator Kapuas Post) mengundurkan diri dikarenakan gajinya terbilang lebih kecil dari pracetak baru seperti aku, Ellen dan Yanto. Pasca pengunduran dirinya begitu membingungkan kami bertiga. Tetapi kami terselamatkan oleh kehadiran seorang senior dalam dunia layout dan grafis, Juliven Kougouw. Kepemimpinannya begitu membuka mataku akan dunia desain layout dan posisi penting pracetak dalam sebuah redaksi. Dari beliau aku mulai mempelajari Macromedia Freehand, tak sampai tiga bulan aku menguasainya.
Masalah kedua timbul. Juliven semakin hari semakin jarang hadir diantara kami. Ternyata keahlian beliau telah merambah dunia Narkoba dan sabu-sabu. Seperti kata orang, sekali terjerat sulit untuk keluar. Para pracetak kembali diliputi oleh dunia kegelapan. Akhirnya Pak Yusri (Pemred Kapuas Post) mengambil keputusan untuk mengangkatku menjadi Koordinator Pracetak. Taraf hidupkupun agak mulai membaik (walau cuma dapat tunjangan profesi Rp. 75.00 sebulan).
Selama 2 tahun pergantian pracetak telah beberapa kali terjadi. Dari mulai keluarnya Yanto sampai masuknya si Gondrong yang jago motret, Bering. Begitu pula dengan wartawan, yang dulunya wartawan senior sebagian menjadi redaktur dan sebagian lagi mencari peruntungan diluar. Wajah-wajah baru seperti Ika, Budiman, Anto dan teman-teman lain mengisi canda tawa di redaksi Kapuas Post.
Pada pertengahan tahun 2003, namaku sebagai orang pertama yang menguasai Adobe Indesign dicatut orang yang tak lain (sebut saja Spongebob). Dia mengaku mengenal Indesign dan memerintahkan semua karyawan untuk menggunakannya. Padahal baru seminggu sebelum nama saya dicatut, saya sempat berbincang-bincang mengenai kecanggihan software ini kepada jahanam ini. Sungguh keterlaluan )&!^*^%!#@%!(*^%#&!^@&$^*!#__$&!*$^&.... Tetapi Tuhan berkata lain, program ini tak berjalan semestinya.
Setelah kegagalan program Indesign. Wajah Kapuas Post selalu berubah atas permintaan spongebob. Berbagai macam desain koran pernah saya coba, dari Washington Post sampai Lampu Merah sudah pernah saya terapkan di halaman-halaman Kapuas Post, sehingga membuat koran ini tak lagi memiliki karakter dan jati diri. Akibatnya aku menjadi sorotan dan dianggap orang yang paling bertanggung jawab atas karakter wajah Kapuas Post. Sungguh membuat sakit hatiku bertambah. Yang menyakitkan lagi adalah perubahan-perubahan itu terjadi hingga sekarang. Tapi anehnya, perubahan itu sering terjadi per triwulan atau lebih tepatnya jika dekat keluarnya bonus karyawan. Kalau sudah dekat begitu, ada aja rapat-rapat yang tak perlu diadakan, dari kualitas cetak yang jelek sampai pewarnaan yang tak cocok, pokoknya semua jadi jelek dimata spongebob..aneh bukan.
Selama Kapuas Post berdiri, kualitas cetak Kapuas Post selalu buruk. Semua dikarenakan mesin cetak yang sudah tua. Tapi sekali lagi Spongebob membuat ulah. Dia menyangkal mentah-mentah hal tersebut. Dia masih beranggapan bahwa kualitas cetak yang jelek berasal dari para Pracetak, walaupun sebenarnya dia tahu hal itu, tetapi dia tetap menyangkal...MUNAFIK.
Awal tahun 2004 penderitaan bertambah lagi dengan dipindahkannya kantor Kapuas Post ke Sungai Raya, jauh dari tempat tinggalku sekarang. Pulang pergi dengan motor tua Yamaha Alpa bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali aku harus mendorong motor malam-malam karena ban bocor atau mogok.Sehingga aku membuat keputusan untuk membeli motor baru. Padahal waktu itu ekonomi keluargaku sedang kurang baik. Untuk uang muka kredit saja harus kupinjam kepada perusahaan, sehingga pengeluaran perbulan keluargaku semakin membengkak. Untuk menutupinya, istriku mesti harus kerja di dua tempat.
Sekitar 2 tahun kami bercokol di sana. Lalu angin panas kembali menerpa. Kami dicanangkan untuk dipindah ke Sintang tanpa ada perubahan gaji maupun tempat tinggal. Sungguh keterlaluan. Mana ada perusahaan yang sembarangan merelokasi kantor dan karyawan seperti itu. Kalaupun itu terjadi apa bedanya dengan membubarkan Kapuas Post, atau itu sama saja dengan membuang makanan begitu saja. Pencanangan itu seperti muncul tenggelam seperti ombak yang mempermainkan perasaan kami...sekali lagi SUNGGUH KETERLALUAN..
Setelah kantor baru selesai direnovasi, kami kembali dipanggil ke kantor pusat. Sesampainya disana kami kembali lagi diperintahkan untuk berkantor di markas besar Harian Equator. Untung hal ini ditolak mentah-mentah oleh Pemred kami. Aku beranggapan bahwa Kapuas Post ini seperti bola pimpong, dilempar kesana kemari.
Pada pertengahan tahun 2008. Program Indesign kembali mencuat, Dari didatangkannya juragan-juragan Jawapos hingga pelatihan-pelatihan Indesign dicokol ke otak karyawan artistik, dari desain iklan hingga pracetak. Mutasi dari Pagemaker ke Indesignpun dimulai. Padahal sebelum program ini mencuat, kru pracetak Kapuas Post semua telah menggunakannya satu tahun sebelumnya. Tetapi pujian dan penghargaan jatuh ke Pontianak Post, sebagai pengguna Indesign pertama se Jawapos group. Hal ini menjadi makian dan duri di hati awak artistik Kapuas Post, mungkin beginilah nasib koran kecil.
Perjuangan kami terus berlanjut hingga datang kompetitor besar Tribune Pontianak. Koran ini sempat mengobrak-abrik Pontianak Post, hingga sekarang koran Tribune menjadi koran yang terbesar di Kalimantan Barat. Kembali lagi Kapuas Post terlibas tempias dari peperangan dua koran besar di Pontianak ini. Kami kembali lagi diperintahkan untuk merubah wajah halaman Kapuas Post
Hal inilah yang membuat aku menulis postingan ini. Kekesalan yang mendalam adalah ketika aku diperintahkan untuk merubah wajah Kapuas Post seperti yang pernah kubuat 2-3 tahun lalu. Tapi setelah kurubah tidak mendapatkan hasil apa-apa, tetapi malah Pontianak Post yang selama ini mencontek Jawapos malah mendapat seribu satu pujian setelah merubah konsep layoutnya seperti yang pernah kubuat beberapa tahun lalu. Hati ini menangis. Prestasi apapun yang kubuat tak membuatku lebih baik dimata siapapun. Sampai pernah temanku di facebook mengatakan kalau aku adalah orang yang berada di tempat dan waktu yang salah. Beribu-ribu ide cemerlang pupus dicuri orang lain.